Rabu, 04 Februari 2015

hukum bacaan MIM Sukun



HUKUM BACAAN MIM SUKUN (مْ)
Mim sukun (مْ) apabila bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah, maka memiliki tiga hokum bacaan, yaitu: ikhfa syafawi, idgham mim, dan izhar syafawi.
1.      Ikhfa Syafawi  (إخفاء سفوى)
Ikhfa’ syafawi adalah menyembunyikan atau menyamarkan huruf mim. Hukum bacaan disebut ikhfa’ syafawi apabila mim sukun (مْ) bertemu dengan huruf ba (ب), maka cara membacanya harus dibunyikan samar-samar di bibir dan didengungkan.
Contoh :
No
Huruf
Mim Sukun
1.
ب
ترميهم بحجارة
2.
ب
تظاهرون عليهم بالإثم
2.      Idgham Mimi  ( إدغام ميمى)
Hukum bacaan disebut idgham mimi apabila mim sukun (مْ) bertemu dengan huruf mim (م), maka cara membacanya adalah seperti menyuarakan mim rangkap atau ditasyidkan dan wajib dibaca dengung. Idgham mimi disebut juga idgham mitslain atau idgham mutamasilain (idgham yang hurufnya serupa atau sejenis).
Contoh :
No
Huruf
Mim Sukun
1
م
لهم ما يشآءون
2
م
لكم ما في الأرض
3.      Idhar Syafawi  (إظهار سفوى)
Hukum bacaan idhar syafawi apabila mim sukun (مْ) bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain huruf mim (مْ) dan ba (ب), maka cara membacanya bunyi mim disuarakan dengan terang dan jelas tanpa berdengung di bibir dengan mulut tertutup.
Contoh :
No
Huruf
Mim Sukun
No
Huruf
Mim Sukun
1.
ء
لكم آياته
14.
ض
ان فيكم ضعفا
2.
ت
تنذرهم لم
15.
ط
عليهم طيرا
3.
ث
في داركم ثلاثة
16.
ظ
فوقهم ظلل
4.
ج
جزائكم جزاء
17.
ع
ولهم عذاب
5.
ح
عليهم حجارة
18.
غ
عليهم غضب
6.
خ
هم خير البرية
19.
ف
ويمدهم في
7.
د
لكم دينكم
20.
ق
ان لهم قدم
8.
ذ
ذكرا ليكم
21.
ك
فجعلهم كعصف
9.
ر
فيهم رشدا
22.
ل
فإنـهم لـمحضرون
10.
ز
بينهم زبرا
23.
ن
وهم نائمون
11.
س
نومكم سباتا
24.
و
من ربكم وبقية
12.
ش
هم شر البرية
25.
هـ
وزداهم هدى
13.
ص
اهديكم صراطا
26.
ي
لم يلد

filsafat Ibnu Sina



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
“Bapak filosof” demikianlah julukan bagi Ibnu Sina yang diberikan oleh sebagian besar filosof-filosof Islam di Timur. Ia merupakan tokoh kerohanian yang besar. Ajaran filosof yang dikenal baik sebagai masha’i atau filsafat paripatetisk adalah sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan Neoplatonisme, menjadi sebuah dimensi inteleksualisme yang permanen dalam dunia Islam dan bertahan sebagai ajaran filsafat yang hidup sampai hari ini, khususnya filsafat abad pertengahan.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina memiliki banyak hal unik, sedangkan diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Oleh karena itu, makalah ini diberi judul “Filsafat Ibnu Sina”, yang berisi tentang sejarah lahir Ibnu sina dan karya-karyanya serta pemikiran filsafatnya.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah :
1.      Siapakah Ibnu Sina?
2.      Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
3.      Apa saja pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C.    Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina.
2.      Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
3.      Untuk mengetahui pemikiran filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu Sina.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahir Ibnu Sina
Ibnu Sina nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ibnu Ali Ibn Sina. Di Eropa (dunia Barat) ibnu sina dikenal dengan sebutan  “Avicenna”. Sebutan ini, akibat dari terjadinya metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah orang Spanyol kata ibnu diucapkan “Aben” atau “Even”. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad keduabelas di Spanyol.
Ibnu Sina lahir di Afsyanah dekat Bukhara[1], Persia Utara pada th. 980 M. Ayahnya seorang ulama besar di Kharistan Bukhara, ia lahir dikalangan orang agamis yang sangat taat beribadah. Ayahnya juga seorang pembantu kerajaan. Disanalah Ibnu Sina besar. Dan Ibnu Sina meninggal dunia pada th. 1037 M. (usia 58 th.), dan di makamkan di Hamadzan.
Sejak usia muda, Ibnu Sina telah menguasai beberapa ilmu-ilmu pengetahuan seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lainnya, bahkan dalam usia 10 th.Ibnu Sina telah hafal AL-qur’an 30 juz. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
Ketika anak jenius ini berusia 17 th dengan kepintarannya yang mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada ada saat itu dan melebihi siapapun juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Kepintarannya ini dibuktikan ketika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur yang sebelumnya tidak seorang dokter pun mampu menyembuhkannya. Ia juga diangkat sebagai menteri oleh Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.
Sedangkan guru-guru yang mendidik Ibnu Sina diantaranya yaitu Abu Abd Allah Al-Natili dan Ismail sang Zahid. Karena kecerdasannya, Ibnu Sina dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru[2]. Bahkan karena kecerdasan yang dimiliki Ibnu Sina para gurunya menadi kewalahan. Setelah guru-gurunya kewalahan, Ibnu sina menadi bingung mencari tempat untuk memuaskan kehausan belajarnya yang tidak kunung terpenuhi. Telah disebutkan, karena keberhasilannya menyembuhkan pangeran Nuh Ibnu Mansur, Ibnu Sina diberi kebebasan belajar di perpustakaan istana Kutub Khana. Di sinilah ia melepaskan dahaga belajarnya siang malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan sempurna.
Keberhasilan Ibnu Sina, di samping adanya kebebasan yang diberikan oleh para penguasa, juga didukung oleh minat belajarnya yang luar biasa dan kegeniusan otaknya. Dan dengan keberhasilan ibnu sina ini,di sinilah letak keberuntungan dunia islam, walupun dari segi politik dapat dikatakan telah porak poranda, akibat para penguasa saling bersaing dan saling mengungguli, namun mereka tetap mendorong dan melindungi kegiatan intelektual dan ilmiah.
Ibnu Sina secara tidak langsung juga pernah berguru kepada Al-Farabi[3], bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada Al-Farabi. Hal ini terjadi ketika Ibnu Sina kesulitan memahami metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal di luar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil Al-Farabi yag berjudul fi Aghradhi ma ba’d al-Thabi’atii[4]. Hal ini dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan oleh Al-Farabi. Dengan kata lain, Ibu Sina merupakan penerus dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis oleh Al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh Al-Kindi.[5]
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran Filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya, dank arena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is (Kyai Utama).
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya.  Ketika pustaka istana (Kutub Khana) terbakar, ia dituduh membakarnya supaya oaring lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada di sana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.
B.     Karya-karya Ibnu Sina
            Ibnu sina walaupun sibuk dalam pemerintahan, namun ia adalah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.
Diantara karya tulisnya yang terpenting,  sebagai berikut :
1.      Al-Syifa, dalam bahasa latin dikenal dengan Suficienta, merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar, berisi uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian : metafisika(ketuhanan), fisika, matematika, dan logika. Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
2.      Al-Najah, berisi ringkasan dari kitab al-Syifa. Karya tulis ini ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingn mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap. Buku ini pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.
3.      Al-Qanun fi al-Tibb atau Canon of Medicine, berisi ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lainnya. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.[6]
4.      Al-Isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah. buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunya.
5.       Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi  Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah  Al-Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa Persia.
C.    Filsafat Ibnu Sina
1.      Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat
 Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina uga mengusahakan pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama yakni malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci,qudsiyyat) yaitu intuisi, sedangkan filosof melalui Akal Mustafad. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
 Nabi memperoleh akal materiil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal Mustafad sebagai anugrahTuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu,filosof menerima akal Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana Al-Farabi juga memberikan ketegasan tentang erbedaan antara ara nabi dan ara filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya jadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang memiliki intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi.
Dalam pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Karena para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan nabi dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional dan secara syar’I, seperti adanya hari akhir dan lainnya.
2.      Ketuhanan
             Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil wajib al-wujud dan mumkim al-wujud yakni dalam filsafat wujudnya, ia menelaskan bahwa segala yang ada ia bagi ada tiga tingkatan yang dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut :
a.       Wajib alwujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi ini dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (wajibul wujud) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud. Dengan demikian, Tuhan adalah unik dalam arti Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat Nya. Tetapi Tuhan mempunyai esensi lain, tak ada antribut antribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak berensensi maka Dia mutlak  sederhana dan tak dapat di definisikan.
b.      Mumkin al-wujud,esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada. Contohnya adalah alam ini, yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c.       Mumtani’ al-wujud,esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah), tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang artinya sebagai berikut: :
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.
3.      Jiwa
             Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
             Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.[7]
Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a.       Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul  Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
a.) Makan (nutrition)
b.)      Tumbuh (Growth)
c.)       Berkembang biak (reproduction)
b.      Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi beberapa daya ;
a.)    Gerak (locomotion)
b.)    Menangkap (perception)
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bagian :
a.)   Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b.)  Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
1.)    Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera,
2.)    Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima  oleh indera bersama,
3.)    Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
4.)    Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala,
5.)    Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.  Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
a)    Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
b)   Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.[8]
     Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa masalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
4.      Tasawuf
            Tasawuf menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman Ibnu Sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
            Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk dengan penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimulan bahwa Ibnu Sina merupakan seorang yang tekun dalam mempelajari ilmu. Beliau pernah membaca buku metafizik karangan Aristoteles sebanyak 40 kali dan hafal.Ia adalah seorang yang taat beragama.beliau sering berdoa kepada Allah SWT terutama apabila beliau menghadapi kebuntuan untuk menyelesaikan masalah. Beliau sering pergi ke masjid untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT. Seorang yang pintar, Beliau berjaya menguasai berbagai ilmu naqliah (ilmu agama) ketika berusia 18 tahun. Seorang yang berinovatif. Ibnu Sina banyak melakukan penyelidikan dan menghasilkan karya dalam berbagai ilmu terutama dalam bidang perobatan.
Ibnu Sina juga merupakan tokoh perobatan Islam yang terkenal dan banyak memberi sumbangan dalam bidang perobatan. Ibnu Sina banyak menghasilkan karya dalam bidang perobatan. Bukunya Al-Qanun Fit tib menjadi rujukan utama di seluruh pusat pengajian tinggi di dunia Barat. Ibnu Sina merupakan orang yang pertama memperkenalkan method pemerhatian dan anlisis dalam bidang perobatan. Ibnu Sina juga terkenal sebagai seorang ahli falsafah dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang lain.
Diantara karya dari ibnu sina yang terpenting adalah
1.      Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2.      Al- Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3.      Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4.      Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5.      -Hikmah al-‘Arudhiyyah
Ibnu sina juga mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1.      Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat
2.      Filsafat KeTuhanan
3.      Filsafat jiwa
4.      Filsafat tasawuf
B.     Kata Penutup
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. Yang telah melimpahkan Taufik, Hidayah serta Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan, semoga usaha kami yang kecil ini diridloi oleh Allah SWT. Dan bermanfat bagi nusa, bangsa dan agama.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, namun kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan supaya ke depannya nanti akan menjadi lebih baik.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini,semoga Allah SWT. Akan membalas di hari kelak dan hanya kepada Allah SWT. Kami berlindung serta mengharapkan taufiq da hidayah-Nya. Amin ya robbal ’alamin....


















DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Dahlan, Abdul Azis. 2003.  Filsafat dalam Ensiklopedi  Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid 4. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Fakhry, Majid. 1986.  Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara.                                                           Jakarta: Pustaka Jaya.
Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,                                                                 Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999.  Filsafat Islam. Jakarta Timur : Gaya Media Pratama.
Zar,  Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta; Raja Grafindo Persada.



[1] Bukhara merupakan salah satu diantara beberapa daerah yang dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Ma Wara An-Nahr, yaitu daerah yang terletak disekitar sungai Jiliun di Uzbekistan. Ensiklopedia Islam, (Jakarta;Ichtiar Baru Van Hoeve,2003),  hlm. 258
[2] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm.191
[3] Al-Farabi merupakan filosof muslim peletak dasar filsafat islam dan tokoh yang benar-benar memahami filsafat aristoteles sehingga dijuluki al-Muallim al-Awwal (Guru pertama) dan dalam dunia intelektual islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Muallim al-Sany (Guru Kedua).  Sirajuddin Zar,Filsafat Islam,(Jakarta;Raja Grafindo persada,2004), hlm.67
[4] Hasyimsyah Nasution, filsafat ISLAM,(Jakarta Timur :Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 67
[5] Al-kindi merupakan filosof Muslim berkebangsaan Arab pertama dan sumbangan yang sangat berharga dalam dunia filsafat islam ialah usahanya untuk membuka pintu atau alan dan menawab rasa enggan dari umat islam lainnya untuk menerima ilmu filsafat ini,yang masih terasa asing pada masa itu.  Sirajuddin Zar,op.cit., hlm.41
[6] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 190
[7] Akal Kesepuluh dimaksud adalah akal Mustafad (al’aklu mustafad), yaitu akal yang telah  sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (aklul fa’al). Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973),  hlm. 37.
[8] Ibid. hlm. 36