BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
“Bapak filosof” demikianlah julukan bagi
Ibnu Sina yang diberikan oleh sebagian besar filosof-filosof Islam di Timur. Ia
merupakan tokoh kerohanian yang besar. Ajaran filosof yang dikenal baik sebagai
masha’i atau filsafat paripatetisk adalah sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam
dengan filsafat Aristotelianisme dan Neoplatonisme, menjadi sebuah dimensi
inteleksualisme yang permanen dalam dunia Islam dan bertahan sebagai ajaran
filsafat yang hidup sampai hari ini, khususnya filsafat abad pertengahan.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad
pertengahan, sosok Ibnu Sina memiliki
banyak hal unik, sedangkan
diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Oleh karena
itu, makalah ini diberi judul “Filsafat Ibnu Sina”, yang berisi
tentang sejarah lahir Ibnu sina dan karya-karyanya serta pemikiran
filsafatnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah makalah ini adalah :
1. Siapakah
Ibnu Sina?
2.
Apa saja karya-karya yang dihasilkan
oleh Ibnu Sina?
3.
Apa saja pemikiran filsafat yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina.
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat yang di kemukakan
oleh Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Lahir Ibnu Sina
Ibnu Sina
nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ibnu Ali
Ibn Sina. Di Eropa (dunia Barat) ibnu sina dikenal dengan sebutan “Avicenna”. Sebutan ini, akibat dari terjadinya
metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah orang Spanyol kata ibnu
diucapkan “Aben” atau “Even”. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha
penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad
keduabelas di Spanyol.
Ibnu Sina lahir
di Afsyanah dekat Bukhara,
Persia Utara pada th. 980 M. Ayahnya seorang ulama besar di
Kharistan Bukhara, ia lahir dikalangan orang agamis
yang sangat taat beribadah. Ayahnya juga seorang pembantu kerajaan. Disanalah
Ibnu Sina besar. Dan Ibnu
Sina meninggal dunia pada th. 1037 M. (usia 58 th.), dan di makamkan di
Hamadzan.
Sejak usia
muda, Ibnu Sina telah menguasai beberapa ilmu-ilmu pengetahuan seperti
matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lainnya, bahkan
dalam usia 10 th.Ibnu Sina telah hafal AL-qur’an 30 juz. Pada usia 16 tahun ia telah banyak
menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,
filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
Ketika anak
jenius ini berusia 17 th dengan kepintarannya yang mengagumkan, ia telah
memahami seluruh teori kedokteran yang ada ada saat itu dan melebihi siapapun
juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter
praktisi. Kepintarannya ini dibuktikan ketika ia berhasil mengobati Pangeran
Nuh Ibnu Mansur yang sebelumnya tidak seorang dokter pun mampu menyembuhkannya.
Ia juga diangkat sebagai menteri oleh Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di
Hamdan.
Sedangkan guru-guru yang mendidik Ibnu Sina diantaranya yaitu Abu Abd
Allah Al-Natili dan Ismail sang Zahid. Karena kecerdasannya, Ibnu Sina dapat
menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi
sang guru.
Bahkan karena kecerdasan yang dimiliki Ibnu Sina para gurunya menadi kewalahan.
Setelah guru-gurunya kewalahan, Ibnu sina menadi bingung mencari tempat untuk
memuaskan kehausan belajarnya yang tidak kunung terpenuhi. Telah disebutkan,
karena keberhasilannya menyembuhkan pangeran Nuh Ibnu Mansur, Ibnu Sina diberi
kebebasan belajar di perpustakaan istana Kutub
Khana. Di sinilah ia melepaskan dahaga belajarnya siang malam sehingga
semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan sempurna.
Keberhasilan Ibnu Sina, di samping adanya kebebasan yang diberikan oleh para
penguasa, juga didukung oleh minat belajarnya yang luar biasa dan kegeniusan
otaknya. Dan dengan keberhasilan ibnu sina ini,di sinilah letak keberuntungan
dunia islam, walupun dari segi politik dapat dikatakan telah porak poranda,
akibat para penguasa saling bersaing dan saling mengungguli, namun mereka tetap
mendorong dan melindungi kegiatan intelektual dan ilmiah.
Ibnu Sina secara tidak langsung juga pernah berguru kepada Al-Farabi,
bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada Al-Farabi.
Hal ini terjadi ketika Ibnu Sina kesulitan memahami metafisika Aristoteles,
sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal di luar kepala.
Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil Al-Farabi yag berjudul fi Aghradhi ma ba’d al-Thabi’atii.
Hal ini dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris filsafat
Neoplatonisme Islam yang dikembangkan oleh Al-Farabi. Dengan kata lain, Ibu
Sina merupakan penerus dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah
dirintis oleh Al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh Al-Kindi.
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran Filsafat
ditangannya telah mencapai puncaknya, dank arena prestasinya itu, ia berhak
memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al
Syikh al-Ra’is (Kyai Utama).
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak
terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya.
Ketika pustaka istana (Kutub Khana) terbakar, ia dituduh membakarnya
supaya oaring lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada di sana. Cobaan lain,
bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams
Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah
beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan
disambut oleh amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan
dirinya sampai akhir hayatnya.
B.
Karya-karya Ibnu Sina
Ibnu sina walaupun sibuk dalam
pemerintahan, namun ia adalah seorang penulis yang luar biasa produktif
sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar
pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia
Timur. Jumlah
karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.
Diantara
karya tulisnya yang terpenting, sebagai
berikut :
1. Al-Syifa, dalam bahasa latin dikenal dengan Suficienta,
merupakan
buku filsafat yang terpenting dan terbesar, berisi uraian tentang filsafat yang terdiri atas
empat bagian : metafisika(ketuhanan), fisika, matematika, dan logika. Buku
tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat
dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di
Teheran. Pada tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha
menerbitkan pasal keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya
ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan
di Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr.
Abdurrahman Badawi.
2. Al-Najah, berisi ringkasan dari kitab al-Syifa. Karya tulis
ini ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingn mengetahui dasar-dasar
ilmu hikmah secara lengkap. Buku ini pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M, di
Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.
3. Al-Qanun
fi al-Tibb atau Canon of Medicine, berisi ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab
dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lainnya.
Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku
standar untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut
pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.
4. Al-Isyarat
wa al-Tanbihat, isinya
mengandung uraian tentang logika dan hikmah. buku ini adalah buku
terakhir dan yang paling baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden
pada tahun 1892 M. Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis,
kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr.
Sulaiman Dunya.
5. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini
banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah
lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan
bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
Selain itu, Ibnu Sina
meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya yang terpenting adalah
Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi
Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah
Al-Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah
Al-’Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk
puisi ke dalam bahasa Persia.
C.
Filsafat Ibnu Sina
1.
Al-Tawfiq
(Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina uga
mengusahakan pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi
dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama yakni malaikat Jibril yang
juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya terletak pada
cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui
akal materiil yang disebut hads (kekuatan
suci,qudsiyyat) yaitu intuisi, sedangkan filosof melalui Akal Mustafad.
Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Nabi memperoleh
akal materiil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal Mustafad sebagai
anugrahTuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu,filosof menerima akal
Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil. Pengetahuan yang
diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh
filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana Al-Farabi juga memberikan
ketegasan tentang erbedaan antara ara nabi dan ara filosof. Mereka yang disebut
pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi
manusia lain untuk mengusahakan dirinya jadi nabi. Sementara itu, mereka yang
disebut kedua adalah manusia yang memiliki intelektual yang tinggi dan tidak bisa
menjadi nabi.
Dalam pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan
bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Karena para nabi dengan mukjizatnya
dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang
disampaikan nabi dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional
dan secara syar’I, seperti adanya hari akhir dan lainnya.
2.
Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya
Tuhan menggunakan dalil wajib al-wujud dan mumkim al-wujud yakni dalam filsafat wujudnya, ia menelaskan bahwa
segala yang ada ia bagi ada tiga tingkatan yang dipandang memiliki daya kreasi
tersendiri sebagai berikut :
a. Wajib
alwujud, esensi yang
tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi ini dimulai dari tidak ada,
kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Yang serupa ini disebut mesti berwujud (wajibul wujud) yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud. Dengan demikian, Tuhan adalah unik
dalam arti Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus
satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat Nya. Tetapi Tuhan mempunyai
esensi lain, tak ada antribut antribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan
mesti ada. Ini dinyatakan Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak
berensensi maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat di definisikan.
b. Mumkin
al-wujud,esensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika
ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni
boleh ada dan boleh tidak ada. Contohnya adalah alam ini, yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c. Mumtani’
al-wujud,esensi yang
tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping
kosmos yang ada.
Ibnu
Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak
perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya
Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul
wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud
karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan
Yang Pertama (Allah),
tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan
pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari
wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang artinya sebagai berikut: :
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.
3.
Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan
pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Menurut pendapat
Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang
sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan
untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah
dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga,
tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua
subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal.
Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang
berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan
suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut
Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang
subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi
sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang
terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.
Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam
tiga bahagian :
a. Jiwa
tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
a.) Makan (nutrition)
b.) Tumbuh
(Growth)
c.) Berkembang
biak (reproduction)
b. Jiwa
binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi beberapa daya ;
a.) Gerak
(locomotion)
b.) Menangkap
(perception)
Dua
daya ini dibagi lagi menjadi dua bagian :
a.) Menangkap
dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b.) Menangkap
dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
1.) Indera
bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera,
2.) Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama,
3.) Imaginasi
yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
4.) Estimasi
yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama
keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala,
5.) Rekoleksi
yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c. Jiwa
manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
a) Praktis
(practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
b) Teoritis
(theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian,
sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan
manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi
jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya,
maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia
seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas
seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya
dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa
beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda
pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa masalah jiwa adalah urusan filosof.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada
dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat
scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus,
Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf,
serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
4.
Tasawuf
Tasawuf menurut ibnu Sina tidak
dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang
dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang
dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan
menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman Ibnu Sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak
berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya
terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan
manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu
Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian
Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali
hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah,
tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan
dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk dengan
penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan
sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimulan bahwa Ibnu
Sina merupakan seorang yang tekun dalam
mempelajari ilmu. Beliau pernah membaca buku metafizik karangan Aristoteles
sebanyak 40 kali dan hafal.Ia adalah seorang yang taat beragama.beliau sering berdoa kepada Allah SWT terutama
apabila beliau menghadapi kebuntuan untuk menyelesaikan masalah. Beliau sering
pergi ke masjid untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT. Seorang yang pintar, Beliau
berjaya menguasai berbagai ilmu naqliah
(ilmu agama) ketika berusia 18 tahun. Seorang yang berinovatif. Ibnu Sina banyak
melakukan penyelidikan dan menghasilkan karya dalam berbagai ilmu terutama
dalam bidang perobatan.
Ibnu Sina juga merupakan tokoh perobatan
Islam yang terkenal dan banyak memberi sumbangan dalam bidang perobatan. Ibnu
Sina banyak menghasilkan karya dalam bidang perobatan. Bukunya Al-Qanun Fit tib menjadi rujukan utama
di seluruh pusat pengajian tinggi di dunia Barat. Ibnu Sina merupakan
orang yang pertama memperkenalkan method pemerhatian dan anlisis dalam
bidang perobatan. Ibnu Sina juga terkenal sebagai seorang ahli falsafah dan
menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang lain.
Diantara
karya dari ibnu sina yang terpenting adalah
1. Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2. Al- Najah, latinnya salus (penyelamat),
keringkasan dari as-Syifa’.
3. Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai
logika dan hikmah.
4. Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah
diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada
Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5. -Hikmah al-‘Arudhiyyah
Ibnu
sina juga mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1. Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat
2. Filsafat KeTuhanan
3. Filsafat jiwa
4. Filsafat tasawuf
B.
Kata Penutup
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT.
Yang telah melimpahkan Taufik, Hidayah serta Inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan harapan, semoga usaha kami yang kecil ini
diridloi oleh Allah SWT. Dan bermanfat bagi nusa, bangsa dan agama.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan, namun kami telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyajikan yang terbaik. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami
harapkan supaya ke depannya nanti akan menjadi lebih baik.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu terselesaikannya makalah ini,semoga Allah SWT. Akan
membalas di hari kelak dan hanya kepada Allah SWT. Kami berlindung serta
mengharapkan taufiq da hidayah-Nya. Amin ya robbal ’alamin....
DAFTAR
PUSTAKA
A. Mustofa. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Dahlan, Abdul Azis. 2003. Filsafat dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid 4. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Fakhry,
Majid. 1986. Sejarah Filsafat
Islam terj.
R. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nasution,
Harun. 1973. Filsafat dan Mitisisme dalam
Islam,
Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta Timur : Gaya
Media Pratama.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Hasyimsyah
Nasution, filsafat ISLAM,(Jakarta Timur :Gaya Media Pratama, 1999), hlm.
67